HUKUM PERIKATAN
Pengertian Perikatan
Perikatan
adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “verbintenis”.
Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literature hukum di Indonesia.
Perikatan artinya hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain.
Jika dirumuskan, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang
satu dengan orang yang lain karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Dari
rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum
harta kekayaan (law of property), dalam bidang hukunm keluarga (family law),
dalam bidang hukum waris (law of succession), dalam bidang hukum pribadi
(personal law).
Perikatan yang terdapat dalam
bidang- bidang hukum tersebut di atas dapat dikemukakan contohnya sebagai berikut:
a)
Dalam bidang hukum kekayaan, misalnya perikatan
jual beli, sewa menyewa, wakil tanpa kuasa (zaakwaarneming), pembayaran
tanpa utang, perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain.
b)
Dalam bidang hukum keluarga, misalnya perikatan
karena perkawinan, karena lahirnya anak dan sebagainya.
c)
Dalam bidang hukum waris, misalnya perikatan
untuk mawaris karena kematian pewaris, membayar hutang pewaris dan sebagainya.
d)
Dalam bidang hukum pribadi, misalnya perikatan
untuk mewakili badan hukum oleh pengurusnya, dan sebagainya.
Pengaturan Perikatan
Perikatan yang timbul karena
undang- undang ini ada dua sumbernya, yaitu perbuatan orang dan undang- undang
sendiri. Perbuatan orang itu diklasifikasikanlagi menjadi dua, yaitu perbuatan
yang sesuai dengan hukum dan perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum (pasal
1352 dan 1353 KUHPdt).
Perikatan yang timbul dari
perbuatan yang sesuai dengan hukum ada dua, yaitu wakil tanpa kuasa (zaakwarneeming)
diatur dalam pasal 1354 sampai dengan pasal 1358 KUHPdt, pembayaran tanpa
hutang (onverschuldigde betalling) diatur dalam pasal 1359 sampai dengan
1364 KUHPdt. Sedangkan perikatan yang timbul dari perbuatan yang tidak sesuai
dengan hukum adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum adalah perbuatan
melawan hukum (onrechtmatigdaad) diatur dalam pasal 1365 sampai dengan
1380 KUH Perdata.
Unsur-Unsur Perikatan
- Subjek
perikatan
Subjek
perikatan disebut juga pelaku perikatan. Perikatan yang dimaksud meliputi
perikatan yang terjadi karena perjanjian dan karena ketentuan Undang-Undang.
Pelaku perikatan terdiri atas manusia pribadi dan dapat juga badan hukum atau
persekutuan. Setiap pelaku perikatan yang mengadakan perikatan harus:
1)
Ada kebebasan menyatakan kehendaknya sendiri
2)
Tidak ada paksaan dari pihak manapun
3)
Tidak ada penipuan dari salah satu pihak, dan
4)
Tidak ada kekhilafan pihak-pihak yang bersangkutan
- Wenang Berbuat
Setiap
pihak dalam dalam perikatan harus wenang berbuat menurut hukum dalam mencapai
persetujuan kehendak (ijab kabul). Persetujuan kehendak adalah pernyataan
saling memberi dan menerima secara riil dalam bentuk tindakan nyata, pihak yang
satu menyatakan memberi sesuatau kepada yang dan menerima seseuatu dari pihak
lain. Dengan kata lain, persetujuan kehendak (ijab kabul) adalah pernyataan
saling memberi dan menerima secara riil yang mengikat kedua pihak. Setiap hak
dalam perikatan harus memenuhi syarat-syarat wenang berbuat menurut hukum yang
ditentukan oleh undang-undang sebagai berikut:
1)
Sudah dewasa, artinya sudah berumur 21 tahun
penuh
2)
Walaupun belum dewasa, tetapi sudah pernah
menikah
3)
Dalam keadaan sehat akal (tidak gila)
4)
Tidak berada dibawah pengampuan
5)
Memiliki surat kuasa jika mewakili pihak lain
- Objek
perikatan
Objek
perikatan dalam hukum perdata selalu berupa benda. Benda adalah setiap barang
dan hak halal yang dapat dimiliki dan dinikmati orang. Dapat dimilik dan
dinikmati orang maksudnya memberi manfaat atau mendatangkan keuntungan secara
halal bagi orang yang memilikinya.
Benda
objek perikatan dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda
bergerak adalah benda yang dapat diangkat dan dipindahkan, seperti motor,
mobil, hewan ternak. Sedangkan benda tidak bergerak adalah benda yang tidak
dapat dipindahkan dan diangkat, seperti rumah, gedung.
Apabila benda dijadikan objek
perikatan, benda tersebut harus memenuhi syarat seperti yang ditetapkan oleh
undang-undang. Syarat-syarat tersebut adalah :
1)
Benda dalam perdagangan
2)
Benda tertentu atau tidak dapat ditentukan
3)
Benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud
atau tidak berwujud
4)
Benda tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang
atau benda halal
5)
Benda tersebut ada pemiliknya dan dalam
pengawasan pemiliknya
6)
Benda tersebut dapat diserahkan oleh pemiliknya
7)
Benda itu dalam penguasaan pihak lain berdasar
alas hak sah
- Tujuan Perikatan
Tujuan pihak-pihak
mengadakan perikatan adalah terpenuhinya prestasi bagi kedua belah pihak.
Prestasi yang dimaksud harus halal, artinya tidak dilarang Undang-Undang, tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan
masyarakat. Prestasi tersebut dapat berbentuk kewajiban memberikan sesuatu,
kewajiban melakukan sesuatu (jasa), atau kewajiban tidak melakukan sesuatu
(Pasal 1234 KUH Perdata).
Ketentuan Umum dan Khusus
Dalam
penerapannya, ketentuan umum dalam Bab I-IV Buku III KUH Perdata diberlakukan
untuk semua perikatan, baik yang sudah diatur dalam Bab III (kecuali Pasal 1352
dan 1353) dan Bab V-XVIII maupun yang diatur dalam KUHD. Menurut ketentuan
Pasal 1319 KUH Perdata bahwa: “semua perjanjian yang mempunyai nama tertentu
maupun yang tidak mempunyai nama tertentu, tunduk pada ketentuan umum yang
dimuat dalam bab ini dan bab yang lalu”. Yang dimaksud dengan “bab ini dan bab
yang lalu” dalam pasal ini adalah bab Bab II tentang perikatan yang timbul dari
pejanjian dan Bab I tentang perikatan pada umumnya.
Penerapan
ketentuan umum terhadap hal-hal yang diatur secara khusus, dalam ilmu hukum
dikenal dengan adagium iex specialis deroget legi generali. Artinya,
ketentuan hukum khusus yang dimenangkan dari ketentuan hukum umum. Maknanya
jika mengenai suatu hal sudah diatur secara khusus, ketentuan umum yang
mengatur hal yang sama tidak perlu diberlakukan lagi. Jika suatu hal belum
diatur secara khusus, ketentuan umum yang mengatur hal yang sama diberlakukan.
Macam-Macam dari Perikatan
1. Perikatan Bersyarat
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk
verbintenis) adalah perikatan yang digantungkan pada syarat.
Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti
terjadi, baik dalam menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadi peristiwa
maupun dengan membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadi peristiwa
(Pasal 1253 KUHP dt). Perikatan bersyarat di bagi tiga yaitu :
a)
Perikatan dengan syarat tangguh
b)
Perikatan dengan syarat batal
c)
Perikatan dengan ketetapan waktu
2. Perikatan Manasuka
Pada
perikatan manasuka objek prestasi ada dua macam benda. Dikatakan
perikatan mansuka karena, debitor boleh memenuhi prestasi dengan memilih salah
satu dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Namun, debitor tidak dapat
memaksa kreditor untuk menerima sebagian benda yang satu dan benda sebagian benda
yang lainnya. Jika debitor telah memenuhi salah satu dari dua benda yang
ditentukan dalam perikatan, dia dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak memilih
prestasi itu ada pada debitor jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada
kreditor (Pasal 1272 dan 1273 KUHP Perdata).
3. Perikatan Fakultatif
Perikatan Fakultatif yaitu
perikatan dimana debitor wajib memenuhi suatu prestasi tertentu atau prestasi
lain yang tertentu pula. Dalam perikatan ini hanya ada satu objek. Apabila
debitor tidak memenuhi prestasi itu, dia dapat mengganti prestasi lain.
4. Perikatan
Tanggung-Menanggung
Pada perikatan
tanggung-menanggung dapat terjadi seorang debitor berhadapan dengan beberapa
orang kreditor atau seorang kreditor berhadapan dengan beberapa orang debitor.
Apabila kredior terdiri atas beberapa orang, ini disebut tanggung-menanggung
aktif. Dalam hal ini, setiap kreditor, berhak atas pemenuhan prestasi seluruh
hutang. Jika prestasi tersebut sudah dipenuhi, debitor dibebaskan dari utangnya
dan perikatan hapus (Pasal 1278 KUHP dt).
Jika pihak debitor terdiri atas beberapa
orang, ini disebut tanggung menanggung pasif, setiap debitor wajib memenuhi
prestasi seluruh utang dan dan jika sudah dipenuhi oleh seorang debitor saja,
membebaskan debitor –debitor lain dari tuntutan kreditor dan perikatannya hapus
(Pasal 1280 KUHP dt)
Berdasarkan observasi, perikatan
yang banyak terjadi dalam praktiknya adalah perikatan tanggung-menanggung pasif
yaitu :
a)
Wasiat
b)
Ketentuan Undang-Undang
Dalam hal ini undang-undang
menetapkan secara tegas perikatan tanggung menanggung dalam perjanjian
khusus. Perikatan tanggung menanggung secara tegas diatur dengan
perjanjian khusus, yaitu sebagai berikut ;
a)
Persekutuan firma (Pasal 18 KUHD)
b)
Peminjaman benda (Pasal 1749 KUHPdt).
c)
Pemberian kuasa (Pasal 1181 KUHPdt)
d)
Jaminan orang (borgtoch,pasal 1836
KUHPdt)
5. Perikatan Dapat Dibagi Dan
Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dikatakan dapat
dibagi atau tidak dapat dibagi jika benda yang menjadi objek perikatan dapat
atau tidak dapat dibagi menurut imbangan, lagi pula pembagian itu tidak boleh
mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Jadi, sifat dapat atau tidak dapat
dibagi itu berdasarkan pada
:
a)
Sifat benda yang menjadi objek perikatan.
b)
Maksud perikatannya, apakah itu dapat atau tidak
dapat dibagi.
Perikatan dapat atau tidak dapat
dibagi bisa terjadi jika salah satu pihak meninggal dunia sehingga akan timbul
maslah apakah pemenuhan prestasi dapat dibagi atau tidak antara para ahli waris
almahrum itu. Hal tersebut bergantung pada benda yang menjadi objek perikatan
yang penyerahannya atau pelaksanaannya dapat dibagi atau tidak, baik secara
nyata maupun secara perhitungan ( Pasal 1296 KUH Perdata).
6. Perikatan dengan Ancaman
Hukuman
Perikatan ini memuat suatu
ancaman hukuman terhadap debitor apabila dia lalai memenihi prestasinya.
Ancaman hukuman ini bermaksut untuk memberikan suatu kepastian atas pelaksanaan
isi perikatan, seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian yang dibuat oleh
pihak-pihak. Disamping itu, juga sebagai upaya untuk menetapkan jumlah ganti
keruguan jika memang terjadi wanprestasi. Hukuman itu merupakan pendorong
debitor untuk memenuhi kewajiban berprestasi dan untuk membebaskan kreditor
dari pembuktian tentang besarnya ganti kerugian yang telah di deritanya.
7. Perikatan Wajar
Undang-undang tidak menentukan
apa yang dimaksud dengan perikatan wajar (natuurlijke verbintenis, natural
obligation). Dalam undang-undang hanya dijumpai Pasal 1359 ayat (2) KUHPdt.
Karena itu, tidak ada kesepakatan antara para penulis hukum mengenai sifat dan
akibat hukum dari perikatan wajar, kecuali mengenai satu hal, yaitu sifat tidak
ada gugatan hukum guna memaksa pemenuhannya. Kata wajar adalah terjemaahan dari
kata aslinya dalam bahasa Belanda “natuurlijk” oleh Prof. Koesoemadi
Poedjosewojo dalam kuliah hukum perdata pada Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Perikatan wajar bersumber dari
Undang-Undang dan kesusilaan seta kepatutan (Moral and equity).
Bersumber pada Undang-Undang, artinya keberadaan perikatan wajar karena
ditentukasn oleh Undang-Undang. Jika Undang-Undang tidak menentukan, tidak ada
perikatan wajar. Bersumber dari kesusilaan dan kepatutan, artinya keberadaan
perikatan wajar karena adanya belas kasihan, rasa kemanusiaan, dan kerelaaan
hati yang iklas dari pihak debitor. Hal ini sesuai benar dengan sila
kedua pancasila dan dasar Negara Republik Indonesia.
Ada contoh-contoh yang berasal
dari ketentuan undang-undang adalah seperti berikut ini :
a)
Pinjaman yang tidak diminta bunganya
b)
Perjudian dan pertaruhan
c)
Lampau waktu
d)
Kepailitan yang di atur dalam undang-undang
kepailitan.
DAFTAR PUSTAKA
0 comments:
Post a Comment